Selasa, 28 September 2010

Amicus Curiae

Amicus Curiae”, merupakan istilah Latin yang mungkin jarang terdengar di pengadilan Indonesia. Amicus curiae merupakan konsep hukum yang berasal dari tradisi hukum Romawi, yang kemudian berkembang dan dipraktikkan dalam tradisi common law, yang mengizinkan pengadilan untuk mengundang pihak ketiga untuk menyediakan informasi atau fakta-fakta hukum berkaitan dengan isu-isu yang belum familiar.  Amicus curiae yang dalam bahasa Inggris disebut “friend of the court“, diartikan “someone who is not a party to the litigation, but who believes that the court’s decision may affect its interest”. Secara bebas, amicus curiae, amicus curiae disampaikan oleh seseorang yang tertarik dalam mempengaruhi hasil dari aksi, tetapi bukan merupakan pihak yang terlibat dalam suatu sengketa; seorang penasihat kepada pengadilan pada beberapa masalah hukum yang bukan merupakan pihak untuk kasus yang biasanya seseorang yang ingin mempengaruhi hasil perkara yang melibatkan masyarakat luas diterjemahkan sebagai ‘Sahabat Pengadilan’, dimana, pihak yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan. Dengan demikian, amicus curiae disampaikan oleh seseorang yang tertarik dalam mempengaruhi hasil dari aksi, tetapi bukan merupakan pihak yang terlibat dalam suatu sengketa; seorang penasihat kepada pengadilan pada beberapa masalah hukum yang bukan merupakan pihak untuk kasus yang biasanya seseorang yang ingin mempengaruhi hasil perkara yang melibatkan masyarakat luas

Untuk Indonesia, amicus curiae belum banyak dikenal dan digunakan, baik oleh akademisi maupun praktisi. Sampai saat ini, sedikit sekali amicus curiae yang diajukan di Pengadilan Indonesia, amicus curiae yang diajukan kelompok penggiat kemerdekaan pers yang mengajukan amicus curiae kepada Mahkamah Agung terkait dengan peninjauan kembali kasus majalah Time versus Soeharto dan amicus curiae dalam kasus “Upi Asmaradana” di Pengadilan Negeri Makasar, bahkan dalam kasus KPPU terbaru mengenai kartel fuel surcharge juga menggunakan hal tersebut, dimana amicus curiae diajukan sebagai tambahan informasi buat Majelis Hakim yang memeriksa perkara. Walaupun amicus curiae belum dikenal dalam sistem hukum Indonesia, namun dengan berpegangan pada ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, sebagai dasar hukum pengajuan amicus curiae, maka tidak berlebihan apabila mekanisme ini dapat digunakan sebagai salah satu strategi yang dapat digunakan untuk mengklarifikasi prinsip-prinsip hukum dan konstitusi, terutama kasus-kasus yang melibatkan berbagai UU atau pasal yang kontroversial

Melalui Amicus Curiae ini, pihak ketiga dapat berpartisipasi dalam proses peradilan dalam rangka memberikan pandangan kepada Majelis Hakim tentang bagaimana pembuktian materiil suatu perkara.

7 komentar:

  1. metode pemanfaatan pihak ketiga yang tidak mempunyai keterlibatan terhadap perkara tersebut bukankah saat ini telah diatur dan diterapkan dalam proses peradilan indonesia..sebagai contoh dalam proses peradilan pidana dapat ditemukan dan tercantum dalam Pasal 184 ayat 2 jo pasal 186 KUHAP, dimana ahli (akademisi, pakar hukum, dan pihak lain yang mempunyai keahlian terkait dengan perkara berdasarkan keahlian yang dimilikinya) dapat dimanfaatkan untuk memberikan keterangan sesuai dengan keahlian yang dimilikinya dan dalam hal ini ahli tersebut tidak memiliki keterkaitan dengan dengan perkara tersebut selain keahliannya sebagai petunjuk hakim untuk membuat terang suatu pemeriksaan perkara pidana,, apakah hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai amicus curiae??? mohon pencerahannya....

    BalasHapus
  2. Prinsip ini bukan seperti saksi ahli dalam Hukum Acara Pidana karena ini prinsipnya out-of-court. Para ahli memberikan pendapat terhadap suatu perkara yang diharapkan memberikan obyektifitas terhadap pemeriksaan perkara tersebut.

    Perkara yang perlu prinsip ini biasanya disputes regulasi karena biasanya regulator seringkali tidak bertanggung jawab terhadap peraturan yang dikeluarkannya

    BalasHapus
  3. Bibit-Chandra mendapat dukungan lima akademisi yang akan menjadi amicus curiae.

    Upaya Kejaksaan Agung mempersoalkan putusan praperadilan kasus dua Pimpinan KPK Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah menuai dukungan. Lima akademisi fakultas hukum dari empat universitas berbeda menyatakan siap menjadi amicus curiae atau sahabat pengadilan dalam perkara tersebut.

    Para akademisi ini adalah Hamid Chalid dan Topo Santoso (Universitas Indonesia), Prof. Ningrum Sirait (Universitas Sumatera Utara), Laode Syarif (Universitas Hasanuddin, Makassar), Edward O.S. Hiariej (Universitas Gadjah Mada). Menurut mereka, kasus yang menimpa Bibit-Chandra sangat dipaksakan sehingga sudah sepantasnya dihentikan.

    “Perkara pidana Bibit dan Chandra tersebut sesungguhnya memang sepenuhnya hasil rekayasa, sesuatu yang sama sekali tidak ada (no case at all) namun ‘diada-adakan’, sehingga sudah selayaknya kedua perkara tersebut dihentikan dengan cara membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi DKI tanggal 3 Juni 2010 dalam putusan PK Mahkamah Agung,” demikian bunyi kesimpulan dokumen yang diperoleh hukumonline.

    Sekedar mengingatkan, kasus ini bermula dari adanya dugaan penyalahgunaan dan pemerasan yang dilakukan oleh Bibit-Chandra. Kasus ini sempat diselidiki oleh Kepolisian dan kemudian dilimpahkan ke Kejaksaan Agung. Namun, karena alasan sosiologis, Kejaksaan Agung menghentikan perkara ini dengan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP).

    Tak terima dengan terbitnya SKPP itu, Anggodo Widjojo selaku pihak ketiga yang berkepentingan dalam posisinya sebagai pelapor dugaan tindak pidana Bibit-Chandra mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Majelis hakim mengabulkan praperadilan tersebut dan menyatakan penuntutan Bibit-Chandra harus diteruskan. Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Lalu, pihak Kejagung mengajukan PK terhadap putusan itu.

    Para akademisi itu meminta agar majelis hakim agung melihat perkembangan hukum yang terbaru. Yakni, merujuk para putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang telah menghukum Anggodo Widjojo. Dalam putusan itu, terungkap fakta tidak adanya rekaman percakapan Ary Muladi dengan Deputi Bidang Penindakan KPK, Ade Rahardja.

    Padahal sebelumnya, sempat digembar-gemborkan terjadi percakapan keduanya. Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Ary Muladi mengaku menyerahkan uang dari Anggodo kepada dua pimpinan KPK itu melalui Ade Rahardja. Dengan tak terbukti adanya rekaman itu, maka telah sangat jelas bahwa terjadi upaya rekayasa untuk mengkriminalisasi Bibit-Chandra.

    BalasHapus
  4. “Berdasarkan perkembangan mutakhir berupa kepastian tiadanya rekaman pembicaran tersebut, maka alasan penghentian penuntutan berdasarkan Pasal 140 ayat (2) huruf (a) KUHAP menjadi sudah terpenuhi dengan tepat, sebab: tidak terdapat cukup bukti dan peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana,” jelas mereka lagi.

    Laode Syarif mengatakan akan mendaftarkan pendapat para amicus curiae itu Kamis (6/10). “Kami akan daftarkan jam 10.00 WIB,” tuturnya melalui sambungan telepon. Ia sangat berharap pendapatnya beserta rekan-rekannya ini diterima dan dipertimbangkan oleh majelis hakim dalam putusannya.

    Berdasarkan catatan hukumonline, pendapat amicus curiae memang lebih dikenal di negara-negara yang menganut sistem hukum common law (Indonesia menganut civil law). Meski begitu, pendapat sahabat pengadilan dalam kasus Bibit-Chandra ini bukan yang pertama kali. Sebelumnya, pendapat amicus curiae juga pernah ada dalam perkara PK Majalah Times dan kasus Prita Mulyasari.

    Belum putus

    Salah seorang anggota majelis perkara tersebut, Komariah Emong mengatakan majelis hakim belum melakukan rapat untuk membahas perkara tersebut. “Perkaranya belum putus,” ujarnya kepada hukumonline. Sebelumnya memang tersiar kabar bahwa majelis hakim agung telah memutus peninjauan kembali itu.

    Ditanyai seputar adanya amicus curiae ini, Komariah enggan mengomentari. “Saya belum tahu tuh. Dan saya juga tak boleh mengomentari. Ini kan sudah masuk pokok perkara,” tegasnya.

    Sebagai informasi, majelis hakim agung yang menangani perkara itu adalah Imran Anwari (sebagai ketua), serta Moegihardjo dan Komariah Emong (masing-masing sebagai anggota majelis).

    BalasHapus
  5. Penjelasan di komentar ini cukup memberi gambaran lebih jelas, untung baca komentarnya.. kalo gak di atas kepalaku bakal makin banyak bintang2 yang berputar

    BalasHapus
  6. Mohon penjelasannya pak Atmojo, ketika bapak mengatakan bahwa Amicus ini 'out of court', lantas bagaimana legalitas dia di depan para Hakim ? Terimakasih

    BalasHapus